Davidson
(1985) mencatat bahwa sejak tahun 1960-an, berbagai jenis belajar berkelompok telah
banyak dikembangkan untuk berbagai jenis tugas atau pembelajaran matematika.
Ausubel (1968) menyebutnya "group
centered approach", yang dalam grup atau kelompok itu terjadi interaksi dan saling mempengaruhi antara siswanya. Pengaruh
itu terjadi dengan berbagai alasan sesuai motivasi dan orientasi setiap
siswanya.
Kelman (1971)
menyatakan bahwa di dalam kelompok terjadi saling pengaruh secara sosial. Pertama, pengaruh itu dapat diterima seseorang
karena ia memang berharap untuk menerimanya. Yang kedua, memang ia ingin mengadopsi atau meniru tingkah laku atau
keberhasilan orang lain atau kelompok tersebut
karena sesuai dengan salah satu sudut
pandang kelompoknya. Ketiga, karena pengaruh itu kongruen dengan sikap atau nilai yang ia miliki. Ketiganya
mempengaruhi sejauh kerja kooperatif tersebut dapat dikembangkan.
Slavin (1991)
menyatakan bahwa dalam belajar kooperatif, siswa bekerja dalam kelompok saling membantu
untuk menguasai bahan ajar. Lowe (1989) menyatakan bahwa belajar kooperatif
secara nyata semakin meningkatkan pengembangan sikap sosial dan belajar dari
teman sekelompoknya dalam berbagai sikap
positif. Keduanya memberikan gambaran bahwa belajar kooperatif meningkatkan
kepositipan sikap sosial dan kemampuan kognitif sesuai tujuan pendidikan.
Meskipun dalam
praktiknya sering dikeluhkan sebagai suatu kegiatan yang sulit dilaksanakan karena berbagai sebab, namun banyak penelitian yang
mendorong terselenggaranya kegiatan
belajar secara berkelompok ini. Keuntungan yang ditunjukkan para peneliti
adalah keuntungan baik yang menyangkut sikap sosial yang
positif maupun meningkatnya hasil belajar.
Banyak macam
kegiatan belajar berkelompok atau kerja kelompok. Diskusi dan pengembangan komunikasi untuk saling belajar dan
menyampaikan pendapat merupakan hal yang dituntut dan sekaligus dipelajari. Kegiatan tersebut
merupakan kegiatan yang mengakar di masyarakat, tetapi tanpa pendidikan dan pelatihan
hasil yang secara intuitif tentulah tidak sebanyak juka
direncanakan.
Beberapa di antaranya dikenal
sebagai berikut:
1. Circle of Learning (Learning together, belajar bersama; Johnson and Johnson, 1987). Implementasinya sangat umum. Yang dipentingkan kerja
bersama, lebih dari sekedar beberapa orang
berkumpul bersama. Banyak anggotanya 5 — 6 orang dengan kemampuan akademik yang
bervariasi (mixed abilities group). Mereka
sharing pendapat dan saling membantu dengan kewajiban setiap anggota sungguh memahami
jawaban atau penyelesaian tugas yang diberikan kepada kelompok
tersebut.
2. Grup
Penyelidikan (Group Investigation: Lazarowitz dkk, 1988; Sharan dkk., 1989,
Sharan & Sharan,
1990).
Model ini menyiapkan siswa dengan
lingkup studi yang luas dan berbagai pengalaman belajar untuk memberikan
tekanan pada aktifitas positif para siswa. Ada empat karakteristik pada model ini.
Pertama, klas dibagi ke dalam sejumlah kelompok (grup). Kedua, kelompok siswa
dihadapkan pada
topik dengan berbagai aspek untuk meningkatkan daya kuriositas (keingintahuan)
dan saling ketergantungan yang positif di
antara mereka. Ketiga, di dalam kelompoknya siswa terlibat dalam komunikasi aktif untuk meningkatkan keterampilan
cara belajar. Keempat, guru bertinak selaku sumber belajar dan pimpinan tak langsung, memberikan arah dan klarifikasi
hanya jika diperlukan, dan menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Siswa terlibat dalam setiap tahap
kegiatan:
(a)mengidentifikasi topik dan
mengorganisasi siswa dalam "kelompok peneliti"
(b)merencanakan tugas-tugas yang harus
dipelajari,
(c) melaksanakan investigasi,
(d) menyiapkan laporan,
(e) menyampaikan laporan akhir, dan
(f) evaluasi proses dan hasilnya.
3.
Co-op co-op (Kagan, 1985.a)
Seperti halnya grup penyelidikan, Co-op
co-op berorientasi pada tugas pembelajaran yang "multifaset",
kompleks dan siswa mengendalikan apa dan bagaimana mempelajari bahan yang
ditugaskan kepada mereka. Siswa dalam suatu tim (kelompok) menyusun proyek yang
dapat membantu tim lain. Setiap siswa mempunyai topik mini yang harus
diselesaikan, dan setiap tim memberikan kontribusi yang menunjang tercapainya
tujuan kelas. Struktur ini memerlukan cara dan keterampilan
bernalar yang cukup tinggi, termasuk menganalisis dan melakukan sintesis bahan yang dipelajari.
Langkahnya adalah: diskusi klas seluruh
siswa, seleksi atau penyusunan tim siswa untuk mempelajari atau
menyelesaiakan tugas tertentu, seleksi tim – topik, seleksi topik mini (oleh angota
kelompok di dalam kelompok/timnya oleh mereka sendiri), penyiapan topik mini, presentasi topik mini,
persiapan presentasi tim, presentasi tim, dan kemudian evaluasi oleh siswa
dengan bimbingan guru.
4.
Jigsaw (pertama kali oleh Aronson dkk., 1978).
Pada model ini, kelas dibagi menjadi
beberapa kelompok dengan 4 – 6 orang. Setiap kelompok oleh Aronson
dinamai kelompok Jigsaw (gigi gergaji). Pelajaran dibagi dalam beberapa bagian/seksi
sehingga setiap siswa mempelajari salah satu bagian pelajaran tersebut. Semua siswa
dengan bagian pelajaran yang sama belajar bersama dalam sebuah kelompok, dan
dikenal sebagai "counterpart group" (CG). Dalam setiap CG siswa
berdiskusi dan mengklarifikasi bahan pelajaran dan menyusun sebuah
rencana bagaiama cara mereka mengajar kepada teman mereka dari
kelompok lain Jika sudah siap, siswa kembali ke kelompok Jigsaw mereka, dan
mengajarkan bagian yang dipelajari masing-masing kepada temannya dalam kelompok
Jigsaw tersebut. Hal ini memberikan kemungkinan siswa terlibat
aktif dalam diskusi dan saling komunikasi baik di dalam grup Jigsaw
maupun CG. Keterampilan bekerja dan belajar secara kooperatif
dipelajari langsung di dalam kegiatan pada kedua jenis pengelompokan. Siswa
juga diberikan motivasi untuks elalu mengevaluasi proses
pembelajaran mereka.
Ada beberapa variasi dalam jenis Jigsaw
ini. Jigsaw Aronson dikenal sebagai Jigsaw I, sedangkan
berikutnya dikembangkan antara lain oleh Slawin (1980, Jigsaw II) dan Kagan,
1985, Jigsaw
III. Jigsaw juga menekankan segi kompotisi antar grup. Dengan demikian baik
kooperatif maupun persaingan individual
tetap muncul. Jigsaw III utamanya digunakan dalam klas dengan dua bahasa (bilingual classroom).
5.
Numbered Heads Together (NHT, Kagan 1985. b)
NHT merupakan kegiatan belajar kooperatif
dengan empat tahap kegiatan. Pertama, siswa dikelompokkan
menjadi kelompok @ 4 orang, setiap anggota diberi satu nomor 1, 2, 3, dan 4. Kedua,
guru menyampaikan pertanyaan. Ketiga, Guru
memberitahu siswa untuk "meletakkan kepala mereka
bersama", untuk meyakinkan bahwa setiap anggota tim memahami jawaban tim.
Keempat, guru menyebut nomor (1, 2, 3, atau 4), dan siswa dengan nomor yang
bersangkutanlah yang harus menjawab.
Setiap tim terdiri dari siswa yang
berkemampuan bervariasi: satu berkemampuan tingi, dua sedang dan satu
rendah. Di sini ketergantungan positif juga dikembangkan, dan yang kurang terbantu
oleh yang lebih. Yang berkemampuan tinggi bersedia membantu, meskipun mungkin mereka
tidak dipanggil untuk menjawab. Bantuan yang diberikan dengan motivasi tanggung
jawab atau nama baik kelompok. Yang paling lemah diharapkan sangat antusias
dalam memahami permasalahan dan
jawabannya kartena merek merasa merekalah yang akan ditunjuk guru untuk menjawab.
6. Student Teams-Achievement Division *STAD,
Slavin, 1980)
Bagian esensial dari model ini dalah adanya kerjasama anggota kelompok
dan kompetisi antar kelompok. Siswa bekerja di kelompok untuk belajar
dari temannya serta "mengajar" temannya
7.
Team Assisted-Individualization atau Team
Accelarated Instruction (TAI)
Slavin (1985) membuat model ini dengan
beberapa alasan. Pertama model ini mengkombinasikan keampuhan
kooperatif dan program pengajaran individual. Kedua, model ini memberikan
tekanan pada efek sosial dari belajar kooperatif. Ketiga, TAI
disusun untuk memecahkan masalah dalam program
pengajaran, misalnya dalam hal kesulitan belajar siswa secara individual.
Model ini juga merupakan modelkelompok
berkemampuan heterogen. Setiap siswa belajar pada aspek khusus
pembelajaran secara individual. Anggota tim menggunakan lembar jawab yang
digunakan untuks saling memeriksa jawaban teman se-tim, dan semua bertanggung
jawab atas keseluruhan jawaban pada akhir kegiatan sebagai tanggung jawab
ebrsama. Diskusi terjadi pada saat siswa saling mempertanyakan jawaban
yang dikerjakan teman se-tim-nya.
8. Teams Games-Tournament (TGT, De Vries dan Slavin, 1978).
TGT menekankan adanya komperisi. Kegiatannya seperti STAD, tetapi
kompetisi dilakukan dengan cara membandingkan kemampuan antar anggota tim
dalam suatu bentuk "turnamen"