Thursday, September 6, 2012

Belajar Kelompok


Davidson (1985) mencatat bahwa sejak tahun 1960-an, berbagai jenis belajar berkelompok telah banyak dikembangkan untuk berbagai jenis tugas atau pembelajaran matematika. Ausubel (1968) menyebutnya "group centered approach", yang dalam grup atau kelompok itu terjadi interaksi dan saling mempengaruhi antara siswanya. Pengaruh itu terjadi dengan berbagai alasan sesuai motivasi dan orientasi setiap siswanya.
Kelman (1971) menyatakan bahwa di dalam kelompok terjadi saling pengaruh secara sosial. Pertama, pengaruh itu dapat diterima seseorang karena ia memang berharap untuk menerimanya. Yang kedua, memang ia ingin mengadopsi atau meniru tingkah laku atau keberhasilan orang lain atau kelompok tersebut karena sesuai dengan salah satu sudut pandang kelompoknya. Ketiga, karena pengaruh itu kongruen dengan sikap atau nilai yang ia miliki. Ketiganya mempengaruhi sejauh kerja kooperatif tersebut dapat dikembangkan.
Slavin (1991) menyatakan bahwa dalam belajar kooperatif, siswa bekerja dalam kelompok saling membantu untuk menguasai bahan ajar. Lowe (1989) menyatakan bahwa belajar kooperatif secara nyata semakin meningkatkan pengembangan sikap sosial dan belajar dari teman sekelompoknya dalam berbagai sikap positif. Keduanya memberikan gambaran bahwa belajar kooperatif meningkatkan kepositipan sikap sosial dan kemampuan kognitif sesuai tujuan pendidikan.
Meskipun dalam praktiknya sering dikeluhkan sebagai suatu kegiatan yang sulit dilaksanakan karena berbagai sebab, namun banyak penelitian yang mendorong terselenggaranya kegiatan belajar secara berkelompok ini. Keuntungan yang ditunjukkan para peneliti adalah keuntungan baik yang menyangkut sikap sosial yang positif maupun meningkatnya hasil belajar.


Banyak macam kegiatan belajar berkelompok atau kerja kelompok. Diskusi dan pengembangan komunikasi untuk saling belajar dan menyampaikan pendapat merupakan hal yang dituntut dan sekaligus dipelajari. Kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang mengakar di masyarakat, tetapi tanpa pendidikan dan pelatihan hasil yang secara intuitif tentulah tidak sebanyak juka direncanakan.
Beberapa di antaranya dikenal sebagai berikut:
1. Circle of Learning (Learning together, belajar bersama; Johnson and Johnson, 1987). Implementasinya sangat umum. Yang dipentingkan kerja bersama, lebih dari sekedar beberapa orang berkumpul bersama. Banyak anggotanya 5 — 6 orang dengan kemampuan akademik yang bervariasi (mixed abilities group). Mereka sharing pendapat dan saling membantu dengan kewajiban setiap anggota sungguh memahami jawaban atau penyelesaian tugas yang diberikan kepada kelompok tersebut.
2.       Grup Penyelidikan (Group Investigation: Lazarowitz dkk, 1988; Sharan dkk., 1989, Sharan & Sharan, 1990).
Model ini menyiapkan siswa dengan lingkup studi yang luas dan berbagai pengalaman belajar untuk memberikan tekanan pada aktifitas positif para siswa. Ada empat karakteristik pada model ini. Pertama, klas dibagi ke dalam sejumlah kelompok (grup). Kedua, kelompok siswa dihadapkan pada topik dengan berbagai aspek untuk meningkatkan daya kuriositas (keingintahuan) dan saling ketergantungan yang positif di antara mereka. Ketiga, di dalam kelompoknya siswa terlibat dalam komunikasi aktif untuk meningkatkan keterampilan cara belajar. Keempat, guru bertinak selaku sumber belajar dan pimpinan tak langsung, memberikan arah dan klarifikasi hanya jika diperlukan, dan menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Siswa terlibat dalam setiap tahap kegiatan:
(a)mengidentifikasi topik dan mengorganisasi siswa dalam "kelompok peneliti"
(b)merencanakan tugas-tugas yang harus dipelajari,
(c) melaksanakan investigasi,
(d) menyiapkan laporan,
(e) menyampaikan laporan akhir, dan
(f) evaluasi proses dan hasilnya.
3.       Co-op co-op (Kagan, 1985.a)
Seperti halnya grup penyelidikan, Co-op co-op berorientasi pada tugas pembelajaran yang "multifaset", kompleks dan siswa mengendalikan apa dan bagaimana mempelajari bahan yang ditugaskan kepada mereka. Siswa dalam suatu tim (kelompok) menyusun proyek yang dapat membantu tim lain. Setiap siswa mempunyai topik mini yang harus diselesaikan, dan setiap tim memberikan kontribusi yang menunjang tercapainya tujuan kelas. Struktur ini memerlukan cara dan keterampilan bernalar yang cukup tinggi, termasuk menganalisis dan melakukan sintesis bahan yang dipelajari.
Langkahnya adalah: diskusi klas seluruh siswa, seleksi atau penyusunan tim siswa untuk mempelajari atau menyelesaiakan tugas tertentu, seleksi tim – topik, seleksi topik mini (oleh angota kelompok di dalam kelompok/timnya oleh mereka sendiri), penyiapan topik mini, presentasi topik mini, persiapan presentasi tim, presentasi tim, dan kemudian evaluasi oleh siswa dengan bimbingan guru.
4.       Jigsaw (pertama kali oleh Aronson dkk., 1978).
Pada model ini, kelas dibagi menjadi beberapa kelompok dengan 4 – 6 orang. Setiap kelompok oleh Aronson dinamai kelompok Jigsaw (gigi gergaji). Pelajaran dibagi dalam beberapa bagian/seksi sehingga setiap siswa mempelajari salah satu bagian pelajaran tersebut. Semua siswa dengan bagian pelajaran yang sama belajar bersama dalam sebuah kelompok, dan dikenal sebagai "counterpart group" (CG). Dalam setiap CG siswa berdiskusi dan mengklarifikasi bahan pelajaran dan menyusun sebuah rencana bagaiama cara mereka mengajar kepada teman mereka dari kelompok lain Jika sudah siap, siswa kembali ke kelompok Jigsaw mereka, dan mengajarkan bagian yang dipelajari masing-masing kepada temannya dalam kelompok Jigsaw tersebut. Hal ini memberikan kemungkinan siswa terlibat aktif dalam diskusi dan saling komunikasi baik di dalam grup Jigsaw maupun CG. Keterampilan bekerja dan belajar secara kooperatif dipelajari langsung di dalam kegiatan pada kedua jenis pengelompokan. Siswa juga diberikan motivasi untuks elalu mengevaluasi proses pembelajaran mereka.
Ada beberapa variasi dalam jenis Jigsaw ini. Jigsaw Aronson dikenal sebagai Jigsaw I, sedangkan berikutnya dikembangkan antara lain oleh Slawin (1980, Jigsaw II) dan Kagan, 1985, Jigsaw III. Jigsaw juga menekankan segi kompotisi antar grup. Dengan demikian baik kooperatif maupun persaingan individual tetap muncul. Jigsaw III utamanya digunakan dalam klas dengan dua bahasa (bilingual classroom).
5.       Numbered Heads Together (NHT, Kagan 1985. b)
NHT merupakan kegiatan belajar kooperatif dengan empat tahap kegiatan. Pertama, siswa dikelompokkan menjadi kelompok @ 4 orang, setiap anggota diberi satu nomor 1, 2, 3, dan 4. Kedua, guru menyampaikan pertanyaan. Ketiga, Guru memberitahu siswa untuk "meletakkan kepala mereka bersama", untuk meyakinkan bahwa setiap anggota tim memahami jawaban tim. Keempat, guru menyebut nomor (1, 2, 3, atau 4), dan siswa dengan nomor yang bersangkutanlah yang harus menjawab.
Setiap tim terdiri dari siswa yang berkemampuan bervariasi: satu berkemampuan tingi, dua sedang dan satu rendah. Di sini ketergantungan positif juga dikembangkan, dan yang kurang terbantu oleh yang lebih. Yang berkemampuan tinggi bersedia membantu, meskipun mungkin mereka tidak dipanggil untuk menjawab. Bantuan yang diberikan dengan motivasi tanggung jawab atau nama baik kelompok. Yang paling lemah diharapkan sangat antusias dalam memahami permasalahan dan jawabannya kartena merek merasa merekalah yang akan ditunjuk guru untuk menjawab.
6.   Student Teams-Achievement Division *STAD, Slavin, 1980)
Bagian esensial dari model ini dalah adanya kerjasama anggota kelompok dan kompetisi antar kelompok. Siswa bekerja di kelompok untuk belajar dari temannya serta "mengajar" temannya
7.        Team Assisted-Individualization atau Team Accelarated Instruction (TAI)
Slavin (1985) membuat model ini dengan beberapa alasan. Pertama model ini mengkombinasikan keampuhan kooperatif dan program pengajaran individual. Kedua, model ini memberikan tekanan pada efek sosial dari belajar kooperatif. Ketiga, TAI disusun untuk memecahkan masalah dalam program pengajaran, misalnya dalam hal kesulitan belajar siswa secara individual.
Model ini juga merupakan modelkelompok berkemampuan heterogen. Setiap siswa belajar pada aspek khusus pembelajaran secara individual. Anggota tim menggunakan lembar jawab yang digunakan untuks saling memeriksa jawaban teman se-tim, dan semua bertanggung jawab atas keseluruhan jawaban pada akhir kegiatan sebagai tanggung jawab ebrsama. Diskusi terjadi pada saat siswa saling mempertanyakan jawaban yang dikerjakan teman se-tim-nya.
8. Teams Games-Tournament (TGT, De Vries dan Slavin, 1978).
TGT menekankan adanya komperisi. Kegiatannya seperti STAD, tetapi kompetisi dilakukan dengan cara membandingkan kemampuan antar anggota tim dalam suatu bentuk "turnamen"