Banyak siswa tumbuh tanpa menyukai
matematika sama sekali (Charles & Lester, 1982, Cockroft, 1982). Mereka
merasa tidak senang dalam mengerjakan tugas-tugas dan merasa bahwa matematika
itu sulit, menakutkan, dan tidak semua orang dapat mengerjakannya. Rasa tidak
percaya did ini harus dihilangkan sedini
mungkin, dengan melibatkan siswa dalam seluruh kegiatan belajar mengajar, agar tumbuh rasa percaya did dan
menghilangkan rasa tidak senang terhadap matematika. Salah satu pendekatan yang menunjang keterlibatan
siswa dalam kegiatan belajar mengajar adalah pendekatan investigasi. Namun ternyata bahwa banyak guru merasa enggan melakukannya
karena adanya anggapan bahwa pendekatan investigasi banyak
memakan waktu, baik untuk menyiapkannya, mahalnya sarana yang diperlukan,
maupun untuk mengerjakannya. Guru-guru sering dihantui
oleh selesai atau tidaknya topik-topik yang harus diajarkan dengan waktu yang
tersedia. Akibatnya guru lebih suka mengajar secara tradisional: kapur dan
catur serta meninggalkan cara investigasi
maupun pemecahan masalah (Sigurdon, Olson, Mason, 1994), karena di samping
alasan di atas keberhasilan penggunaan investigasi masih dipertanyakan.
Dobson (1985) menyatakan bahwa yang terpenting, dan harus dilakukan guru lebih dahulu adalah
mendengar apa yang dinyatakan oleh siswa dan mengapa hal itu dilakukan. Jadi
guru tidak cukup hanya mementingkan
penampilan pengajaran dan mengontrol kelas saja. Diharapkan guru bersedia untuk mencoba menggunakan pendekatan ini
karena manfaatnya antara lain dapat digunakan
untuk memperbaiki cara pengajaran atau cara membelajarkan siswa. Jika hal ini
telah terbiasa maka pendekatan investigatif bukan merupakan sesuatu yang
sukar dilaksanakan.
Investigasi atau penyeledikan merupakan kegiatan pembelajaran yang
memberikan kemungkinan siswa untuk
mengembangkan pemahaman siswa melalui berbagai kegiatan dan hasil benar sesuai
pengembangan yang dilalui siswa. Kegiatan belajarnya diawali dengan pemecahan
soalsoal atau masalah-masalah yang
diberikan oleh guru, sedangkan kegiatan belajar selanjutnya cenderung
terbuka, artinya tidak terstruktur secara
ketat oleh guru, yang dalam pelaksananya mengacu pada berbagai teori
investigasi.
Height (1989) menyatakan bahwa "to
investigate" berkaitan dengan kegiatan mengobservasi secara rinci dan menilai secara sistematis. Jadi
investigasi adalah proses penyelidikan yang dilakukan seseorang,
dan selanjutnya orang tersebut mengkomunikasikan
hasil perolehannya, dapat membandingkannya dengan perolehan orang lain, karena
dalam suatu investigasi dapat diperoleh satu
atau lebih hasil. Dalam kegiatan di kelas yang mengembangkan diskusi kelas
berbagai kemungkinan jawaban itu
berimplikasi pada berbagai alternatif
jawaban dan argumentasi berdasar pengalaman siswa.
Akibatnya di antaranya ialah jawaban siswa tidak selalu tepat benar atau bahkan
salah
karena prakonsepsi yang mendasari pemikiran siswa tidak benar. Namun dari
kesalahan jawaban siswa tersebut,
dengan adanya komunikasi yang
dikembangkan dapat memberikan arah kesadaran siswa akan kesalahan mereka,
khususnya dimana terjadi sumber kesalahan tersebut. Mereka akan belajar dari kesalahan sendiri
dengan bertanya, mengapa orang lain memperoleh jawaban yang berbeda dengan
jawabannya. Dengan sikap keterbukaan yang memang harus dikembangkan dalam sikap investigatif tersebut, siswa
belajar bukan hanya mencari kebenaran atas jawaban permasalahan
itu, tetapi juga mencari jalan kebenaran menggunakan akal sehat dan aktifitas
mental mereka sendiri. Dengan demikian akan dapat dibiasakan untuk
mengembangkan rasa ingin tahu. Hal ini akan dapat membuat siswa lebih aktif berpikir dan
mencetuskan ide-ide atau gagasangagasan positif dalam mencari jalan keluar dari
permasalahan. Selanjutnya guru bukan hakim yang memutuskan kebenaran yang
tertanam di benak siswa, tetapi guru lebih berperan sebagai bidan yang membantu proses kelahiran ide tersebut.
Talmagae dan Hart (1977) menyatakan bahwa investigasi diawali
oleh soal-soal atau masalah-yang
diberikan oleh guru, sedangkan kegiatan belajarnya cenderung terbuka, artinya
tidak terstruktur
secara ketat oleh guru. Siswa dapat
memilih jalan yang cocok bagi mereka. Seperi halnya Height, mereka menyatakan pula bahwa karena mereka bekerja dan
mendiskusikan hasil dengan rekan-rekannya,
maka suasana investigasi ini akan merupakan satu hal yang sangat potensial
dalam menunjang pengertian siswa. Hal
ini sejalan dengan Polya (1981) yang menyatakan bahwa mengajar untuk berpikir
mengharuskan guru tidak hanya memberikan informasi, is harus menempatkan diri sesuai kondisi siswa, memahami apa yang ada dalam
benak siswa. la harus membangun kemampuan
siswa mengolah atau menggunakan informasi yang diperoleh dengan bertanya: "mengapa"
dan "bagaimana", sehingga keaktifan dan keberhasilan mereka dalam
memecahkan masalah akan meningkatkan rasa percaya did mereka.
Suasana Belajar
Talmagae dan Hart (1977) juga menemukan bahwa kelas dengan suasana
investigasi mendorong siswa untuk mau
menggali dan memperdalam cara mereka berpikir dengan menemukan berbagai alternatif
berpikir, menganalisis data, dan
belajar menerima masukan orang lain atau lingkungannya. Sebagai
manusia mereka akan terbiasa lebih peduli terhadap Iingkungan. Di samping itu
guru akan merasa bahwa kelas lebih akrab,
baik antar siswa maupun antara guru dan siswa. Sedangkan menurut Fraser dan Fisher (1983), hasil belajar siswa akan
lebih baik jika suasana belajar sesuai dengan
yang mereka harapkan. Sedangkan Fraser,
Malone dan Neale (1989) mencatat banyak
pendidik
yang sependapat bahwa perubahan suasana sesuai dengan harapan siswa
mempengaruhi peningkatan hasil
belajar siswa.
Strategi Dan Pendekatan Dalam Model Investigasi
Flenor
(1974) membagi kegiatan guru menjadi 5 (lima) tahap:
1) Apersepsi,
2) Investigasi,
3) Diskusi,
4) Penerapan, dan 5) Pengayaan.
Pada
investigasi, siswa bekerja secara bebas, individual atau berkelompok. Guru
hanya bertindak sebagai motivator dan fasilitator yang
memberikan dorongan siswa untuk dapat mengungkapkan pendapat atau menuangkan
pemikiran mereka serta menggunakan pengetahuan awal mereka dalam memahami situasi baru. Guru juga berperan dalam
mendorong siswa untuk dapat memperbaiki hasil mereka sendiri maupun
hasil kerja kelompoknya. Kadang mereka memang memerlukan
orang lain, termasuk guru untuk dapat menggali pengetahuan yang diperlukan,
misalnya melalui pengembangan pertanyaan-pertanyaan yang lebih terarah,
detail atau rinci. Dengan demikian guru
harus selalu menjaga suasana agar investigasi tidak berhenti di tengah jalan.
Dalam hal
investigasi yang dilaksanakan secara berkelompok, Lazarowitz dan kawan-kawannya
(1988) dan juga Sharan dan para koleganya
(Sharan et al, 1989; Sharan & Sharan, 1990) mendisain model kelompok investigasi yang memberikan
kemungkinan siswa untuk melakukan berbagai pengalaman
belajar. Para siswa terlibat dalam
setiap tahap kegiatan
(1) mengidentifikasi topik dan mengorganisasi
kelompoknya dalam "kelomp[ok peneliti",
(2) merencanakan
tugas pembelajaran,
(3) melaksanakan
penyelidikan,
(4) menyiapkan
laporan,
(5) menyampaikan
laporan akhir,
(6) mengevaluasi
program.
Diskusi
kelompok maupun diskusi kelas merupakan hal yang sangat penting guna memberikan
pengalaman mengemukakan dan menjelaskan segala hal yang mereka pikirkan dan membuka did terhadap yang dipikirkan oleh
teman mereka. Pengalaman yang baik seperti ini akan memotivasi siswa untuk belajar dan mau menyelidiki
(menginvestigasi) lebih lanjut. Pengalaman bekerjasama dalam banyak hal
sangat sesuai dengan semangat gotong royong yang telah berkembang sejak lama di
bumi tercinta
Indonesia ini. Hal ini perlu selalu
dikembangkan dengan melatihkannya kepada para siswa.
Dalam kerja
kelompok siswa, Malone dan Krismanto (1993) menemukan bahwa sebagian besar
siswa menginginkan mereka sendirilah yang menentukan
anggota kelompok kegiatan, dengan banyak anggota
3 — 5 orang siswa campuran putra dan putri dan dengan berbagai tingkat
kemampuan siswa. Hal ini sesuai dengan Sharan (1980) bahwa kelompok
semacam itu memberikan efektifitas dalam
peningkatan hasil belajar siswa.
Sikap dan kemauan siswa dalam
menggunakan pendekatan investigasi tidak terlepas dari (1) kegemaran siswa akan
matematika, (3) pemahaman siswa tentang kegunaan matematika dan (3) keberanian
siswa untuk membentuk sendiri pengetahuan matematika mereka. Ini sesuai dengan
paham yang dikembangkan oleh para pakar dan peneliti serta penganut konstruktivisme. Karena itu seberapa
jauh keberhasilan penggunaan pendekatan investigasi juga antara lain tergantung ketiga
faktor.
Karena itu maka guru juga perlu mengetahui seberapa jauh hal di atas dimiliki
siswa di samping berusaha untuk
lebih memberikan pemahaman kepada para siswa.