Thursday, September 6, 2012

Model Investigasi


Banyak siswa tumbuh tanpa menyukai matematika sama sekali (Charles & Lester, 1982, Cockroft, 1982). Mereka merasa tidak senang dalam mengerjakan tugas-tugas dan merasa bahwa matematika itu sulit, menakutkan, dan tidak semua orang dapat mengerjakannya. Rasa tidak percaya did ini harus dihilangkan sedini mungkin, dengan melibatkan siswa dalam seluruh kegiatan belajar mengajar, agar tumbuh rasa percaya did dan menghilangkan rasa tidak senang terhadap matematika. Salah satu pendekatan yang menunjang keterlibatan siswa dalam kegiatan belajar mengajar adalah pendekatan investigasi. Namun ternyata bahwa banyak guru merasa enggan melakukannya karena adanya anggapan bahwa pendekatan investigasi banyak memakan waktu, baik untuk menyiapkannya, mahalnya sarana yang diperlukan, maupun untuk mengerjakannya. Guru-guru sering dihantui oleh selesai atau tidaknya topik-topik yang harus diajarkan dengan waktu yang tersedia. Akibatnya guru lebih suka mengajar secara tradisional: kapur dan catur serta meninggalkan cara investigasi maupun pemecahan masalah (Sigurdon, Olson, Mason, 1994), karena di samping alasan di atas keberhasilan penggunaan investigasi masih dipertanyakan.

Dobson (1985) menyatakan bahwa yang terpenting, dan harus dilakukan guru lebih dahulu adalah mendengar apa yang dinyatakan oleh siswa dan mengapa hal itu dilakukan. Jadi guru tidak cukup hanya mementingkan penampilan pengajaran dan mengontrol kelas saja. Diharapkan guru bersedia untuk mencoba menggunakan pendekatan ini karena manfaatnya antara lain dapat digunakan untuk memperbaiki cara pengajaran atau cara membelajarkan siswa. Jika hal ini telah terbiasa maka pendekatan investigatif bukan merupakan sesuatu yang sukar dilaksanakan.
Investigasi atau penyeledikan merupakan kegiatan pembelajaran yang memberikan kemungkinan siswa untuk mengembangkan pemahaman siswa melalui berbagai kegiatan dan hasil benar sesuai pengembangan yang dilalui siswa. Kegiatan belajarnya diawali dengan pemecahan soal­soal atau masalah-masalah yang diberikan oleh guru, sedangkan kegiatan belajar selanjutnya cenderung terbuka, artinya tidak terstruktur secara ketat oleh guru, yang dalam pelaksananya mengacu pada berbagai teori investigasi.
Height (1989) menyatakan bahwa "to investigate" berkaitan dengan kegiatan mengobservasi secara rinci dan menilai secara sistematis. Jadi investigasi adalah proses penyelidikan yang dilakukan seseorang, dan selanjutnya orang tersebut mengkomunikasikan hasil perolehannya, dapat membandingkannya dengan perolehan orang lain, karena dalam suatu investigasi dapat diperoleh satu atau lebih hasil. Dalam kegiatan di kelas yang mengembangkan diskusi kelas berbagai kemungkinan jawaban itu berimplikasi pada berbagai alternatif jawaban dan argumentasi berdasar pengalaman siswa. Akibatnya di antaranya ialah jawaban siswa tidak selalu tepat benar atau bahkan salah karena prakonsepsi yang mendasari pemikiran siswa tidak benar. Namun dari kesalahan jawaban siswa tersebut, dengan adanya komunikasi yang dikembangkan dapat memberikan arah kesadaran siswa akan kesalahan mereka, khususnya dimana terjadi sumber kesalahan tersebut. Mereka akan belajar dari kesalahan sendiri dengan bertanya, mengapa orang lain memperoleh jawaban yang berbeda dengan jawabannya. Dengan sikap keterbukaan yang memang harus dikembangkan dalam sikap investigatif tersebut, siswa belajar bukan hanya mencari kebenaran atas jawaban permasalahan itu, tetapi juga mencari jalan kebenaran menggunakan akal sehat dan aktifitas mental mereka sendiri. Dengan demikian akan dapat dibiasakan untuk mengembangkan rasa ingin tahu. Hal ini akan dapat membuat siswa lebih aktif berpikir dan mencetuskan ide-ide atau gagasan­gagasan positif dalam mencari jalan keluar dari permasalahan. Selanjutnya guru bukan hakim yang memutuskan kebenaran yang tertanam di benak siswa, tetapi guru lebih berperan sebagai bidan yang membantu proses kelahiran ide tersebut.
Talmagae dan Hart (1977) menyatakan bahwa investigasi diawali oleh soal-soal atau masalah-yang diberikan oleh guru, sedangkan kegiatan belajarnya cenderung terbuka, artinya tidak terstruktur secara ketat oleh guru. Siswa dapat memilih jalan yang cocok bagi mereka. Seperi halnya Height, mereka menyatakan pula bahwa karena mereka bekerja dan mendiskusikan hasil dengan rekan-rekannya, maka suasana investigasi ini akan merupakan satu hal yang sangat potensial dalam menunjang pengertian siswa. Hal ini sejalan dengan Polya (1981) yang menyatakan bahwa mengajar untuk berpikir mengharuskan guru tidak hanya memberikan informasi, is harus menempatkan diri sesuai kondisi siswa, memahami apa yang ada dalam benak siswa. la harus membangun kemampuan siswa mengolah atau menggunakan informasi yang diperoleh dengan bertanya: "mengapa" dan "bagaimana", sehingga keaktifan dan keberhasilan mereka dalam memecahkan masalah akan meningkatkan rasa percaya did mereka.
Suasana Belajar
Talmagae dan Hart (1977) juga menemukan bahwa kelas dengan suasana investigasi mendorong siswa untuk mau menggali dan memperdalam cara mereka berpikir dengan menemukan berbagai alternatif berpikir, menganalisis data, dan belajar menerima masukan orang lain atau lingkungannya. Sebagai manusia mereka akan terbiasa lebih peduli terhadap Iingkungan. Di samping itu guru akan merasa bahwa kelas lebih akrab, baik antar siswa maupun antara guru dan siswa. Sedangkan menurut Fraser dan Fisher (1983), hasil belajar siswa akan lebih baik jika suasana belajar sesuai dengan yang mereka harapkan. Sedangkan Fraser, Malone dan Neale (1989) mencatat banyak pendidik yang sependapat bahwa perubahan suasana sesuai dengan harapan siswa mempengaruhi peningkatan hasil belajar siswa.


Strategi Dan Pendekatan Dalam Model Investigasi
Flenor (1974) membagi kegiatan guru menjadi 5 (lima) tahap:
1)       Apersepsi,
2)       Investigasi,
3)       Diskusi,
4)    Penerapan, dan 5) Pengayaan.
Pada investigasi, siswa bekerja secara bebas, individual atau berkelompok. Guru hanya bertindak sebagai motivator dan fasilitator yang memberikan dorongan siswa untuk dapat mengungkapkan pendapat atau menuangkan pemikiran mereka serta menggunakan pengetahuan awal mereka dalam memahami situasi baru. Guru juga berperan dalam mendorong siswa untuk dapat memperbaiki hasil mereka sendiri maupun hasil kerja kelompoknya. Kadang mereka memang memerlukan orang lain, termasuk guru untuk dapat menggali pengetahuan yang diperlukan, misalnya melalui pengembangan pertanyaan-pertanyaan yang lebih terarah, detail atau rinci. Dengan demikian guru harus selalu menjaga suasana agar investigasi tidak berhenti di tengah jalan.
Dalam hal investigasi yang dilaksanakan secara berkelompok, Lazarowitz dan kawan-kawannya (1988) dan juga Sharan dan para koleganya (Sharan et al, 1989; Sharan & Sharan, 1990) mendisain model kelompok investigasi yang memberikan kemungkinan siswa untuk melakukan berbagai pengalaman belajar. Para siswa terlibat dalam setiap tahap kegiatan
(1)     mengidentifikasi topik dan mengorganisasi kelompoknya dalam "kelomp[ok peneliti",
(2)    merencanakan tugas pembelajaran,
(3)    melaksanakan penyelidikan,
(4)    menyiapkan laporan,
(5)    menyampaikan laporan akhir,
(6)    mengevaluasi program.
Diskusi kelompok maupun diskusi kelas merupakan hal yang sangat penting guna memberikan pengalaman mengemukakan dan menjelaskan segala hal yang mereka pikirkan dan membuka did terhadap yang dipikirkan oleh teman mereka. Pengalaman yang baik seperti ini akan memotivasi siswa untuk belajar dan mau menyelidiki (menginvestigasi) lebih lanjut. Pengalaman bekerjasama dalam banyak hal sangat sesuai dengan semangat gotong royong yang telah berkembang sejak lama di bumi tercinta Indonesia ini. Hal ini perlu selalu dikembangkan dengan melatihkannya kepada para siswa.
Dalam kerja kelompok siswa, Malone dan Krismanto (1993) menemukan bahwa sebagian besar siswa menginginkan mereka sendirilah yang menentukan anggota kelompok kegiatan, dengan banyak anggota 3 — 5 orang siswa campuran putra dan putri dan dengan berbagai tingkat kemampuan siswa. Hal ini sesuai dengan Sharan (1980) bahwa kelompok semacam itu memberikan efektifitas dalam peningkatan hasil belajar siswa.
Sikap dan kemauan siswa dalam menggunakan pendekatan investigasi tidak terlepas dari (1) kegemaran siswa akan matematika, (3) pemahaman siswa tentang kegunaan matematika dan (3) keberanian siswa untuk membentuk sendiri pengetahuan matematika mereka. Ini sesuai dengan paham yang dikembangkan oleh para pakar dan peneliti serta penganut konstruktivisme. Karena itu seberapa jauh keberhasilan penggunaan pendekatan investigasi juga antara lain tergantung ketiga faktor. Karena itu maka guru juga perlu mengetahui seberapa jauh hal di atas dimiliki siswa di samping berusaha untuk lebih memberikan pemahaman kepada para siswa.