Wednesday, August 8, 2018

MEDIA PENDIDIKAN TRADISIONAL


Kata ‘media’ (Sadiman, Dkk, 2005 : 6-7) berasal dari Bahasa Latin  dan merupakan bentuk jamak dari kata ‘medium” yang berarti perantara atau pengantar. Association of Education and Communication Technology/AECT di Amerika membatasi media sebagai segala bentuk dan saluran yang digunakan orang untuk menyalurkan pesan/informasi. Gagne (1970) menyatakan bahwa media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsangnya untuk belajar. Sementara itu Briggs (1970) berpendapat bahwa media adalah segala alat fisik yang dapat menyajikan pesan serta merangsang siswa untuk belajar. Asosiasi Pendidikan Nasional (National Education  Association/NEA) meniliki pengertian yang berbeda. Media adalah bentuk-bentuk komunikasi baik tercetak maupun audiovisual serta peralatannya. Media hendaknya dapat dimanipulasi, dapat dilihat, didengar dan dibaca.

Berdasarkan batasan-batasan di atas dapat dilihat persamaan yang tersirat di dalam beberapa konsep tersebut, yaitu media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima yang  dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat siswa sedemikian rupa sehingga terjadi proses belajar.
            Arca/patung  telah digunakan sebagai media pendidikan    sejak jaman Itihasa, yaitu suatu masa  dalam perkembangan kodifikasi kitab suci Agama Hindu yang meyakini sejarah raja-raja kuno sebagai salah stu dasar untuk mempelajari kitab suci Weda. Satu episode ceritera Mahabharata (Mahabharata adalah salah satu jenis Itihasa selain Ramayana) menguraikan seorang pemuda bernama Bambang Ekalaya hendak berguru untuk menuntut ilmu kepada Rsi Dorna. Permohonan itu disampaikan kepada Rsi Dorna, tetapi  ditolak oleh Sang Rsi dengan alasan Rsi Dorna telah mengangkat Arjuna sebagai muridnya.
            Penolakan Sang Rsi itu bukannya menciutkan keinginanan Ekalaya untuk belajar,  sebaliknya dengan gigih dan tekun Ekalaya terus belajar secara mandiri terutama dalam hal ilmu memanah. Ekalaya di samping belajar sendiri, juga  berusaha “mencuri-curi” ilmunya Sang Rsi saat Arjuna belajar dari Rsi Dorna. Untuk memantapkan keyakinannya Ekalaya  mendirikan patung/arca Rsi Dorna sebagai alat konsentrasi, dengan membayangkan arca tersebut sebagai Rsi Dorna yang sedang membimbingnya dalam mempelajari ilmu Rsi Dorna. Melalui media  berupa arca Sang Rsi inilah Ekalaya berhasil menguasai ilmu yang tidak kalah tingginya dengan ilmu yang dimiliki  Arjuna (disarikan dari ceritera  Mahabharata oleh Kosasih, TT).
            Penggalan ceritera di atas telah menunjukkan bahwa sejak jaman Mahabharata, arca telah digunakan sebagai sarana/alat bantu dalam dunia pendidikan. Selama ini media hanya dianggap sebagai alat bantu mengajar guru (teaching aids). Alat bantu yang dipakai adalah alat bantu visual, misalnya gambar, model, objek, dan alat-alat lain yang dapat memberikan pengalaman konkrit, motivasi belajar, serta mempertinggi daya serap belajar siswa. Dengan masuknya pengaruh teknologi audio pada pertengahan abad 20, alat visual untuk mengkonkretkan materi pelajaran selanjutnya dilengkapi dengan audio sehingga dikenal menjadi alat audio-visual atau audio visual aids (AVA).
            Berbagai peralatan digunakan oleh guru untuk menyampaikan pesan kepada siswa melalui penglihatan dan pendengaran dengan maksud menghindari verbalisme yang masih mungkin terjadi, kalau hanya digunakan alat bantu visual semata. Pada akhir tahun 1950 teori komunikasi mulai mempengaruhi penggunaan alat bantu audio-visual, sehingga selain sebagai alat bantu, media juga berfungsi sebagai penyalur pesan atau informasi belajar. Sejak saat itu alat audio-visual bukan hanya dipandang sebagai alat bantu guru saja, melainkan juga sebagai alat penyalur pesan atau media.
            Sekitar tahun 1960-1965 (Sadiman dkk, 2005 : 8--11) siswa mulai diperhatikan sebagai komponen yang penting dalam proses pembelajaran. Pada saat itu teori tingkah laku (behaviorism theory) ajaran B.F. Skinner mulai mempengaruhi penggunaaan media dalam kegiatan belajar-mengajar. Teori ini mendorong untuk lebih memperhatikan siswa dalam proses belajar-mengajar. Menurut teori ini mendidik adalah mengubah tingkah laku siswa. Perubahan tingkah laku ini ditanamkan pada diri siswa sehingga menjadi adat kebiasaan, untuk itu jika ada perubahan tingkah laku positif ke arah yang dikehendaki, perlu diberikan penguatan (reinforcement) berupa pemberitahuan bahwa tingkah laku tersebut telah benar.
            Pada sekitar tahun 1965-1970 pendekatan sistem (system approach) mulai menampakkan  pengaruhnya dalam kegiatan pendidikan dan kegiatan pembelajaran. Pendekatan sistem ini mendorong digunakannya media sebagai bagian integral dalam program pembelajaran. Setiap program pembelajaran perlu direncanakan secara sitematis dengan memusatkan perhatian pada siswa. Program pengajaran direncanakan berdasarkan kebutuhan dan karakteristik siswa serta diarahkan pada perubahan tingkah laku siswa sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Dalam perencanaan ini media yang akan dipakai dan cara yang digunakan  telah ditentukan dengan pertimbangan saksama.
            Pada dasarnya guru dan para ahli audio-visual menyambut baik perubahan ini. Guru mulai merumuskan tujuan pembelajaran berdasarkan tingkah laku siswa. Untuk mencapai tujuan itu, mulai dipakai berbagai format media. Berdasarkan pengalaman, keberhasilan siswa sangat berbeda jika digunakan satu jenis media, ada siswa yang lebih senang menggunakan media audio, namun ada pula yang lebih menginginkan media visual, maka itu digunakan berbagai macam media sesuai dengan minat siswa, sehingga muncullah konsep penggunaan multi media dalam kegiatan pembelajaran.
            Berdasarkan perkembangan media di atas ternyata arca (relief) sebagai salah satu bentuk relief dapat dikatakan sebagai cikal bakalnya media pendidikan, hanya saja sesuai perkembangan, relief  sepertinya terkubur dan telah digantikan oleh media pendidikan moderen yang muncul belakangan. Selain itu sudah selayaknya media tidak lagi dipandang sebagai alat bantu belaka bagi guru untuk mengajar, tetapi lebih sebagai penyalur pesan dari pemberi pesan. Sebagai pembawa pesan media tidak hanya digunakan oleh guru, tetapi yang lebih penting semestinya dapat digunakan oleh siswa secara mandiri. Sebagai pembawa dan penyaji pesan, maka media dalam hal tertentu dapat menggantikan peran guru untuk menyampaikan informasi secara teliti dan menarik. Fungsi tersebut dapat diterapkan tanpa kehadiran guru secara fisik, dengan demikian pandangan tentang guru sebagai satu-satunya sumber informasi tidak berlaku lagi.
Berdasarkan perkembangan dan temuan media seperti disebutkan di depan,  media sebelumnya hanya dipandang sebagai peralatan yang membantu guru dalam interaksi belajar mengajar. Dalam pengertian itu Sadiman dkk, (2005 : 207-208) menunjuk  media berupa  peralatan yang dikelompokkan menjadi dua bagian besar yaitu peralatan proyeksi (optik) dan peralatan elektronik. Peralatan optik meliputi: overhead proyektor (OHP), microform reader, proyektor film rangkai (film strip proyector), proyektor film bingkai (slide proyector), proyektor film (motion picture film). Peralatan elektronik terdiri dari: radio perekam kaset audio (radio cassette recorder), penala radio (tuner), perekam pita audio (open reel tape recorder), perekam kaset audio (cassette recorder), amplifier, loud speaker, sampai video monitor dan sebagainya.
 Apabila dirunut lagi, mulai dari definisi media yang dikemukakan oleh Gagne (1970) yang menyatakan bahwa media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsangnya untuk belajar, dan definisi dari Briggs (1970) yang menyatakan  media adalah segala alat fisik yang dapat menyajikan pesan serta merangsang siswa untuk belajar, maka berdasarkan kedua definisi tersebut  media bukan hanya berbentuk peralatan optik dan peralatan elektronik seperti disebutkan di atas. Sebagaimana  telah disinggung di depan, di Kabupaten Bangli pada umumnya dan di lingkungan SMP N 3 Bangli khususnya banyak dijumpai benda-benda seni hasil budaya masyarakat setempat yang dijiwai ajaran agama Hindu. Benda-benda yang dimaksaud adalah patung/arca yang terdapat di persimpangan jalan atau di tempat-tempat suci (pura) dan  lukisan dinding atau ukiran dinding/pintu di rumah-rumah penduduk, di kantor-kantor atau sekolah. Dalam karya seni ini, selanjutnya disebut relief,  terkandung ide yang berupa ceritera yang diyakini memiliki pengaruh bagi kehidupan umat Hindu dalam bertindak sehari-hari. Ceritera atau mitologi yang menyertai relief biasanya diambil dari penggalan epos Ramayana, Mahabharata, atau ceritera Tantri, sehingga relief  merupakan warisan nenek moyang umat Hindu yang ada di Bangli dapat dimasukkan sebagai salah satu media pendidikan.
            Dikatakan demikian karena  syarat-syarat yang dituntut dalam media, yaitu berupa komponen yang ada di lingkungan siswa yang dapat merangsang kegiatan belajar, dan sebagai alat yang mengandung pesan dari pengirim kepada penerima, sudah terkandung di dalam relief. Relief sebagai hasil ciptaan dari seorang pemahat (undagi) diciptakan berdasarkan imajinasi pemahat atau pemesannya, yang didalamnya tertanam/tertuang nilai-nilai tertentu yang hendak dikomunikasikan pada orang lain. Relief merupakan  simbol yang dapat ditafsirkan oleh orang lain yang melihatnya. Dengan melihat simbol tersebut, orang akan berpikir untuk menafsirkan makna yang hendak dikomunikasikan. Penafsiran itu tentu berdasarkan pemahaman yang telah disepakati berdasarkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat.