Kata ‘media’ (Sadiman, Dkk, 2005 : 6-7) berasal
dari Bahasa Latin dan merupakan bentuk
jamak dari kata ‘medium” yang berarti perantara atau pengantar. Association of Education and Communication
Technology/AECT di Amerika membatasi media sebagai segala bentuk dan
saluran yang digunakan orang untuk menyalurkan pesan/informasi. Gagne (1970)
menyatakan bahwa media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa
yang dapat merangsangnya untuk belajar. Sementara itu Briggs (1970) berpendapat
bahwa media adalah segala alat fisik yang dapat menyajikan pesan serta
merangsang siswa untuk belajar. Asosiasi Pendidikan Nasional (National
Education Association/NEA) meniliki
pengertian yang berbeda. Media adalah bentuk-bentuk komunikasi baik tercetak
maupun audiovisual serta peralatannya. Media hendaknya dapat dimanipulasi,
dapat dilihat, didengar dan dibaca.
Berdasarkan batasan-batasan di atas dapat dilihat persamaan
yang tersirat di dalam beberapa konsep tersebut, yaitu media adalah segala
sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima
yang dapat merangsang pikiran, perasaan,
perhatian dan minat siswa sedemikian rupa sehingga terjadi proses belajar.
Arca/patung
telah digunakan sebagai media
pendidikan sejak jaman Itihasa, yaitu suatu masa dalam perkembangan kodifikasi kitab suci
Agama Hindu yang meyakini sejarah raja-raja kuno sebagai salah stu dasar untuk
mempelajari kitab suci Weda. Satu episode ceritera Mahabharata (Mahabharata
adalah salah satu jenis Itihasa
selain Ramayana) menguraikan seorang pemuda bernama Bambang Ekalaya hendak
berguru untuk menuntut ilmu kepada Rsi Dorna. Permohonan itu disampaikan kepada
Rsi Dorna, tetapi ditolak oleh Sang Rsi
dengan alasan Rsi Dorna telah mengangkat Arjuna sebagai muridnya.
Penolakan
Sang Rsi itu bukannya menciutkan keinginanan Ekalaya untuk belajar, sebaliknya dengan gigih dan tekun Ekalaya
terus belajar secara mandiri terutama dalam hal ilmu memanah. Ekalaya di
samping belajar sendiri, juga berusaha
“mencuri-curi” ilmunya Sang Rsi saat Arjuna belajar dari Rsi Dorna. Untuk
memantapkan keyakinannya Ekalaya
mendirikan patung/arca Rsi Dorna sebagai alat konsentrasi, dengan
membayangkan arca tersebut sebagai Rsi Dorna yang sedang membimbingnya dalam
mempelajari ilmu Rsi Dorna. Melalui media
berupa arca Sang Rsi inilah Ekalaya berhasil menguasai ilmu yang tidak
kalah tingginya dengan ilmu yang dimiliki
Arjuna (disarikan dari ceritera Mahabharata oleh Kosasih, TT).
Penggalan ceritera
di atas telah menunjukkan bahwa sejak jaman Mahabharata, arca telah digunakan
sebagai sarana/alat bantu dalam dunia pendidikan. Selama ini media hanya
dianggap sebagai alat bantu mengajar guru (teaching
aids). Alat bantu yang dipakai adalah alat bantu visual, misalnya gambar,
model, objek, dan alat-alat lain yang dapat memberikan pengalaman konkrit,
motivasi belajar, serta mempertinggi daya serap belajar siswa. Dengan masuknya
pengaruh teknologi audio pada pertengahan abad 20, alat visual untuk
mengkonkretkan materi pelajaran selanjutnya dilengkapi dengan audio sehingga
dikenal menjadi alat audio-visual atau audio
visual aids (AVA).
Berbagai peralatan
digunakan oleh guru untuk menyampaikan pesan kepada siswa melalui penglihatan
dan pendengaran dengan maksud menghindari verbalisme yang masih mungkin
terjadi, kalau hanya digunakan alat bantu visual semata. Pada akhir tahun 1950
teori komunikasi mulai mempengaruhi penggunaan alat bantu audio-visual,
sehingga selain sebagai alat bantu, media juga berfungsi sebagai penyalur pesan
atau informasi belajar. Sejak saat itu alat audio-visual bukan hanya dipandang
sebagai alat bantu guru saja, melainkan juga sebagai alat penyalur pesan atau
media.
Sekitar tahun 1960-1965
(Sadiman dkk, 2005 : 8--11) siswa mulai diperhatikan sebagai komponen yang
penting dalam proses pembelajaran. Pada saat itu teori tingkah laku (behaviorism theory) ajaran B.F. Skinner
mulai mempengaruhi penggunaaan media dalam kegiatan belajar-mengajar. Teori ini
mendorong untuk lebih memperhatikan siswa dalam proses belajar-mengajar.
Menurut teori ini mendidik adalah mengubah tingkah laku siswa. Perubahan
tingkah laku ini ditanamkan pada diri siswa sehingga menjadi adat kebiasaan,
untuk itu jika ada perubahan tingkah laku positif ke arah yang dikehendaki,
perlu diberikan penguatan (reinforcement)
berupa pemberitahuan bahwa tingkah laku tersebut telah benar.
Pada sekitar tahun
1965-1970 pendekatan sistem (system
approach) mulai menampakkan
pengaruhnya dalam kegiatan pendidikan dan kegiatan pembelajaran.
Pendekatan sistem ini mendorong digunakannya media sebagai bagian integral
dalam program pembelajaran. Setiap program pembelajaran perlu direncanakan
secara sitematis dengan memusatkan perhatian pada siswa. Program pengajaran
direncanakan berdasarkan kebutuhan dan karakteristik siswa serta diarahkan pada
perubahan tingkah laku siswa sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Dalam
perencanaan ini media yang akan dipakai dan cara yang digunakan telah ditentukan dengan pertimbangan saksama.
Pada dasarnya guru
dan para ahli audio-visual menyambut baik perubahan ini. Guru mulai merumuskan
tujuan pembelajaran berdasarkan tingkah laku siswa. Untuk mencapai tujuan itu,
mulai dipakai berbagai format media. Berdasarkan pengalaman, keberhasilan siswa
sangat berbeda jika digunakan satu jenis media, ada siswa yang lebih senang
menggunakan media audio, namun ada pula yang lebih menginginkan media visual, maka
itu digunakan berbagai macam media sesuai dengan minat siswa, sehingga
muncullah konsep penggunaan multi media dalam kegiatan pembelajaran.
Berdasarkan
perkembangan media di atas ternyata arca (relief) sebagai salah satu bentuk
relief dapat dikatakan sebagai cikal bakalnya media pendidikan, hanya saja
sesuai perkembangan, relief sepertinya
terkubur dan telah digantikan oleh media pendidikan moderen yang muncul
belakangan. Selain itu sudah selayaknya media tidak lagi dipandang sebagai alat
bantu belaka bagi guru untuk mengajar, tetapi lebih sebagai penyalur pesan dari
pemberi pesan. Sebagai pembawa pesan media tidak hanya digunakan oleh guru,
tetapi yang lebih penting semestinya dapat digunakan oleh siswa secara mandiri.
Sebagai pembawa dan penyaji pesan, maka media dalam hal tertentu dapat
menggantikan peran guru untuk menyampaikan informasi secara teliti dan menarik.
Fungsi tersebut dapat diterapkan tanpa kehadiran guru secara fisik, dengan
demikian pandangan tentang guru sebagai satu-satunya sumber informasi tidak
berlaku lagi.
Berdasarkan perkembangan dan temuan media seperti
disebutkan di depan, media sebelumnya hanya
dipandang sebagai peralatan yang membantu guru dalam interaksi belajar
mengajar. Dalam pengertian itu Sadiman dkk, (2005 : 207-208) menunjuk media berupa
peralatan yang dikelompokkan menjadi dua bagian besar yaitu peralatan
proyeksi (optik) dan peralatan elektronik. Peralatan optik meliputi: overhead proyektor (OHP), microform reader, proyektor film rangkai (film
strip proyector), proyektor film
bingkai (slide proyector), proyektor
film (motion picture film). Peralatan elektronik terdiri
dari: radio perekam kaset audio (radio
cassette recorder), penala radio
(tuner), perekam pita audio (open reel tape recorder), perekam kaset
audio (cassette recorder), amplifier, loud speaker, sampai video monitor dan sebagainya.
Apabila dirunut
lagi, mulai dari definisi media yang dikemukakan oleh Gagne (1970) yang
menyatakan bahwa media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa
yang dapat merangsangnya untuk belajar, dan definisi dari Briggs (1970) yang
menyatakan media adalah segala alat
fisik yang dapat menyajikan pesan serta merangsang siswa untuk belajar, maka
berdasarkan kedua definisi tersebut media
bukan hanya berbentuk peralatan optik dan peralatan elektronik seperti
disebutkan di atas. Sebagaimana telah
disinggung di depan, di Kabupaten Bangli pada umumnya dan di lingkungan SMP N 3
Bangli khususnya banyak dijumpai benda-benda seni hasil budaya masyarakat
setempat yang dijiwai ajaran agama Hindu. Benda-benda yang dimaksaud adalah
patung/arca yang terdapat di persimpangan jalan atau di tempat-tempat suci
(pura) dan lukisan dinding atau ukiran
dinding/pintu di rumah-rumah penduduk, di kantor-kantor atau sekolah. Dalam
karya seni ini, selanjutnya disebut relief,
terkandung ide yang berupa ceritera yang diyakini memiliki pengaruh bagi
kehidupan umat Hindu dalam bertindak sehari-hari. Ceritera atau mitologi yang
menyertai relief biasanya diambil dari penggalan epos Ramayana, Mahabharata,
atau ceritera Tantri, sehingga relief merupakan warisan nenek moyang umat Hindu yang
ada di Bangli dapat dimasukkan sebagai salah satu media pendidikan.
Dikatakan demikian
karena syarat-syarat yang dituntut dalam
media, yaitu berupa komponen yang ada di lingkungan siswa yang dapat merangsang
kegiatan belajar, dan sebagai alat yang mengandung pesan dari pengirim kepada
penerima, sudah terkandung di dalam relief. Relief sebagai hasil ciptaan dari
seorang pemahat (undagi) diciptakan
berdasarkan imajinasi pemahat atau pemesannya, yang didalamnya
tertanam/tertuang nilai-nilai tertentu yang hendak dikomunikasikan pada orang
lain. Relief merupakan simbol yang dapat
ditafsirkan oleh orang lain yang melihatnya. Dengan melihat simbol tersebut,
orang akan berpikir untuk menafsirkan makna yang hendak dikomunikasikan.
Penafsiran itu tentu berdasarkan pemahaman yang telah disepakati berdasarkan
nilai-nilai yang hidup di masyarakat.