Pembelajaran sejarah secara dialogik sangat penting mengingat bahwa
pemaknaan atas peristiwa masa lampau menjadi bagian yang vital dalam sejarah.
Dialog digambarkan sebagai perbincangan antara dua pihak atau lebih tentang
sesuatu subjek. Dialog menekankan proses berbagi informasi dan perspektif di
antara pihak-pihak tentang realitas. Bahan mata pelajaran sejarah memuat
tema-tema kontroversial dan peserta didik bisa saja memperoleh sumber informasi
yang berbeda dari guru dan buku ajar yang direkomendasikan oleh pemerintah.
Realitas dalam tema-tema kontroversial itulah yang menjadi bahan dialog,
meskipun pembelajaran dialogik disarankan untuk semua tema pembelajaran.
Pendidikan sejarah mempunyai fungsi pokok sebagai penunjang
pembangunan watak dan bangsa, maka paradigma konvergen ( masyarakat berhak
mendefinisikan diri terhadap peristiwa-peristiwa penting mereka di masa lampau
) lebih relevan untuk meletakkan upaya pembangunan watak dan bangsa melalui
pembelajaran sejarah itu diselenggarakan dalam modus dialogik. Watak atau
karakter merupakan kompleksitas mental dan etik yang menandai orang (
Merriam-Webster, 2003 : 207 ). Definisi ini mengisyaratkan bahwa pembangunan
karakter dan kesadaran sebagai bangsa tidak dapat dilangsungkan melalui
pencandraan stereotyping dan secara serta merta serta tidak dapat
ditanamkan secara preskriptif baik melalui ujaran maupun ajaran. Ujaran dan
ajaran yang diceramahkan dapat menjadi informasi, tetapi penghayatannya sebagai
kerangka mental dan etik masih membutuhkan serangkaian proses.
Dialog dapat menjangkau ketiga ranah dalam pendidikan yaitu ranah
kognitif, afektif, dan psikomotorik. Pada ranah kognitif dialog dapat
berlangsung sejak level pengetahuan, kemudian berlanjut pada level pemahaman,
aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Pada ranah afektif terdapat
level-level tanggapan, penilaian, pengorganisasian berbagai nilai, dan
karakterisasi dengan suatu nilai tertentu atau beberapa nilai sekaligus. Dan
pada ranah psikomotorik dialog dapat berkembang sejak level persepsi, kesiapan
bertindak, tanggapan terpandu, tindakan mekanik ( seperti : pembiasaan ),
tidakan berpola kompleks, adaptasi, sampai level originasi atau mencipta
sesuatu yang baru berangkat dari penghayatan akan subjek yang dipelajari lebih
dahulu ( Robb Davis, 2005 : 83-87 ). Mungkin keseluruhan level yang
dikembangkan dari taksonomi Bloom oleh Krathwohl tersebut terlalu ideal bagi
praktek pembelajaran sejarah, namun sebagai wawasan dan rambu-rambu strategi
pembelajaran tetaplah berguna. Walaupun hanya terdapat satu orang peserta didik
dalam satu sekolah yang dapat berkembang mencapai keseluruhan level, tetapi
yang hanya satu orang siswa tadi patut diharapkan kelak akan menjadi alumnus
kebanggaan sekolah.
Dialog rawan macet jika guru biasa mengajukan pertanyaan tertutup,
yang telah tersedia pilihan jawabannya. Terlebih jika pertanyaan tertutup itu
disertai maksud preskriptif, bahwa “hal ini harus dipilih dan dikerjakan”. Oleh
karena itu Vella mengingatkan bahwa pertanyaan terbuka merupakan alat yang
efektif untuk memancing dialog, mengandung refleksi kritis, analisis, kaji
ulang, dan persepsi personal ( Jane Vella, 1995 : 180 ). Tidaklah berlebihan
jika pertanyaan terbuka dilabeli sebagai sarana pembelajaran yang memancing kreatifitas,
memanusiakan dan menyediaakan umpan balik dalam spectrum yang lebih luas bagi
guru.