Friday, August 3, 2018

Pembelajaran Sejarah Secara Dialogik


Pembelajaran sejarah secara dialogik sangat penting mengingat bahwa pemaknaan atas peristiwa masa lampau menjadi bagian yang vital dalam sejarah. Dialog digambarkan sebagai perbincangan antara dua pihak atau lebih tentang sesuatu subjek. Dialog menekankan proses berbagi informasi dan perspektif di antara pihak-pihak tentang realitas. Bahan mata pelajaran sejarah memuat tema-tema kontroversial dan peserta didik bisa saja memperoleh sumber informasi yang berbeda dari guru dan buku ajar yang direkomendasikan oleh pemerintah. Realitas dalam tema-tema kontroversial itulah yang menjadi bahan dialog, meskipun pembelajaran dialogik disarankan untuk semua tema pembelajaran.


Pendidikan sejarah mempunyai fungsi pokok sebagai penunjang pembangunan watak dan bangsa, maka paradigma konvergen ( masyarakat berhak mendefinisikan diri terhadap peristiwa-peristiwa penting mereka di masa lampau ) lebih relevan untuk meletakkan upaya pembangunan watak dan bangsa melalui pembelajaran sejarah itu diselenggarakan dalam modus dialogik. Watak atau karakter merupakan kompleksitas mental dan etik yang menandai orang ( Merriam-Webster, 2003 : 207 ). Definisi ini mengisyaratkan bahwa pembangunan karakter dan kesadaran sebagai bangsa tidak dapat dilangsungkan melalui pencandraan stereotyping dan secara serta merta serta tidak dapat ditanamkan secara preskriptif baik melalui ujaran maupun ajaran. Ujaran dan ajaran yang diceramahkan dapat menjadi informasi, tetapi penghayatannya sebagai kerangka mental dan etik masih membutuhkan serangkaian proses.   

Dialog dapat menjangkau ketiga ranah dalam pendidikan yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Pada ranah kognitif dialog dapat berlangsung sejak level pengetahuan, kemudian berlanjut pada level pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Pada ranah afektif terdapat level-level tanggapan, penilaian, pengorganisasian berbagai nilai, dan karakterisasi dengan suatu nilai tertentu atau beberapa nilai sekaligus. Dan pada ranah psikomotorik dialog dapat berkembang sejak level persepsi, kesiapan bertindak, tanggapan terpandu, tindakan mekanik ( seperti : pembiasaan ), tidakan berpola kompleks, adaptasi, sampai level originasi atau mencipta sesuatu yang baru berangkat dari penghayatan akan subjek yang dipelajari lebih dahulu ( Robb Davis, 2005 : 83-87 ). Mungkin keseluruhan level yang dikembangkan dari taksonomi Bloom oleh Krathwohl tersebut terlalu ideal bagi praktek pembelajaran sejarah, namun sebagai wawasan dan rambu-rambu strategi pembelajaran tetaplah berguna. Walaupun hanya terdapat satu orang peserta didik dalam satu sekolah yang dapat berkembang mencapai keseluruhan level, tetapi yang hanya satu orang siswa tadi patut diharapkan kelak akan menjadi alumnus kebanggaan sekolah.

Dialog rawan macet jika guru biasa mengajukan pertanyaan tertutup, yang telah tersedia pilihan jawabannya. Terlebih jika pertanyaan tertutup itu disertai maksud preskriptif, bahwa “hal ini harus dipilih dan dikerjakan”. Oleh karena itu Vella mengingatkan bahwa pertanyaan terbuka merupakan alat yang efektif untuk memancing dialog, mengandung refleksi kritis, analisis, kaji ulang, dan persepsi personal ( Jane Vella, 1995 : 180 ). Tidaklah berlebihan jika pertanyaan terbuka dilabeli sebagai sarana pembelajaran yang memancing kreatifitas, memanusiakan dan menyediaakan umpan balik dalam spectrum yang lebih luas bagi guru.