Cerita pendek atau sering disingkat sebagai cerpen adalah suatu bentuk
prosa naratif fiktif. Cerpen cenderung padat dan langsung pada tujuannya
dibandingkan karya-karya fiksi yang lebih panjang, seperti novella
(dalam pengertian modern) dan novel. Karena singkatnya, cerpen-cerpen yang
sukses mengandalkan teknik-teknik sastra seperti tokoh, plot, tema, bahasa dan insight
secara lebih luas dibandingkan dengan fiksi yang lebih panjang. Ceritanya bisa
dalam berbagai jenis (dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Cerita_pendek).
Disyaratkan oleh H.B. Jassin bahwa cerpen haruslah memiliki bagian perkenalan,
pertikaian dan penyelesaian (Korrie Layun Rampan, 1995: 10). Dengan kata lain,
sebuah cerpen harus memuat konflik. Oleh Dane Bauer (2005: 21) konflik
diartikan sebagai perjuangan hidup tokoh cerita. Tokoh utama harus memiliki
masalah yang sedang diatasi atau menginginkan sesuatu yang harus diperjuangkan.
The Liang Gie dan A. Widyamartaya seba
gaimana dikutip oleh Korrie Layun
Rampan (1995: 10) mendefinisikan cerpen sebagai cerita khayali berbentuk prosa
pendek yang biasanya terdiri atas 10.000 kata, bertujuan menghasilkan kesan
kuat dan mengandung unsur-unsur drama; oleh sebab itu alurnya pun disebut
konflik dramatik. Senada dengan pendapat tersebut, A. Bakar Hamid sebagaimana
dikutip oleh pakar yang sama mengemukakan bahwa yang disebut cerpen itu harus
dilihat dari kuantitas, yaitu banyaknya perkataan yang dipakai: antara 500 s.d.
20.000 kata, adanya satu plot, adanya satu watak dan adanya satu kesan (1995:
10).
Sehubungan dengan jumlah kata, cerpen diklasifikasikan menjadi dua yaitu
cerpen yang pendek (short short story) serta cerpen yang panjang (long
short story). Cerpen yang pendek adalah cerpen yang mengandung maksimal
1000 kata atau 16 halaman kuarto spasi rangkap. Adapun cerpen yang panjang ialah
cerpen yang terdiri atas 5.000 – 10.000 kata atau 23 halaman kuarto spasi
rangkap. Pengklasifikasian cerpen berdasar pada nilainya, dikenal adanya cerpen
sastra serta cerpen hiburan (Henry Guntur Tarigan, 1984: 178).
Di lain pihak, Yudiono Ks. (dalam Korrie Layun Rampan, 1995: 10)
menyatakan bahwa yang disebut cerpen yaitu cerita yang bersumber pada suatu
persoalan kehidupan, suatu nilai kehidupan yang menjadi tema cerita. Sejalan
dengan batasan tersebut, Mochtar Lubis (dalam Korrie Layun Rampan, 1995: 10)
berpendapat bahwa cerpen: (1) ia harus mengandung interpretasi pengarang tentang konsepsinya
mengenai penghidupan, baik secara langsung maupun tidak langsung; (2) ia harus
menimbulkan suatu hempasan dalam pikiran pembaca; (3) ia harus menimbulkan
perasaan pada pembaca bahwa pembaca
merasa terharu oleh jalan cerita; cerpen pertama-tama harus menarik perasaan
haru kemudian menarik pikiran; (4) ia harus mengandung perincian dan
insiden-insiden yang dipilih dengan sengaja dan yang bisa menimbulkan pertanyaan-pertanyaan
dalam pikiran pembaca.
Edgar Allan Poe sebagaimana dikutip oleh Muhammad Diponegoro (dalam
Korrie Layun Rampan, 1995: 11) mengemukakan lima hal yang harus dimiliki sebuah
cerpen. Pertama, cerita pendek harus pendek. Ukuran pendek tidak dibatasi oleh
jumlah kata. Cerpen harus habis dibaca dalam sekali duduk. Kedua, cerpen
mengalir dalam arus untuk menciptakan efek tunggal dan unik. Ketiga, cerpen
harus ketat dan padat. Keempat, cerpen harus mampu meyakinkan pembacanya bahwa
ceritanya benar-benar terjadi, bukan suatu bikinan, rekaan. Kelima, cerpen
harus menimbulkan kesan yang selesai, tidak lagi mengusik dan menggoda karena
ceritanya masih akan berlanjut.
Berdasar pada berbagai batasan cerpen di atas, secara garis besar
dikemukakan bahwa cerpen adalah bentuk prosa fiktif naratif yang habis dibaca
sekali duduk serta mengandung konflik dramatik.