Cerpen merupakan salah satu bentuk
tulisan narasi. Narasi diartikan sebagai bentuk percakapan atau tulisan yang
bertujuan menyampaikan atau menceritakan rangkaian peristiwa atau pengalaman
manusia berdasarkan perkembangan dari waktu ke waktu (Atar Semi, 1990: 32). Cerpen
cenderung kurang kompleks dibandingkan dengan novel. Cerpen biasanya memusatkan
perhatian pada satu kejadian, mempunyai satu plot, setting yang tunggal,
jumlah tokoh yang terbatas serta mencakup jangka waktu yang singkat.
Henry Guntur Tarigan (1984: 177) memaparkan ciri khas cerpen sebagai
berikut: (1) ciri utama cerpen adalah singkat, padu, dan intensif; (2) unsur
utama cerpen adalah adegan, tokoh, dan gerak; (3) bahasa cerpen haruslah tajam,
sugestif, dan menarik perhatian; (4) cerpen harus mengandung interpretasi
pengarang tentang konsepsinya mengenai kehidupan baik secara langsung maupun tidak
langsung; (5) sebuah cerpen harus menimbulkan satu efek dalam pikiran pembaca;
(6) cerpen harus menimbulkan perasaan pada pembaca bahwa jalan ceritalah yang
pertama-tama menarik perasaan dan baru kemudian menarik pikian; (7) cerpen
mengandung detail-detail dan insiden-insiden yang dipilih dengan sengaja dan
yang bisa menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dalam pikiran pembaca; (8) dalam
sebuah cerpen, sebuah insiden yang terutama menguasai jalan cerita; (9) cerpen
harus mempunyai seorang pelaku utama; (10) cerpen harus mempunyai satu efek
atau kesan yang menarik; (11) cerpen bergantung pada satu situasi; (12) cerpen
memberikan impresi tunggal; (13) cerpen memberikan suatu kebulatan efek; (14) cerpen
menyajikan satu emosi; (15) jumlah kata-kata cerpen biasanya di bawah 10.000
kata.
Secara lebih terinci, berikut dipaparkan unsur utama pembangun cerpen.
1)
Tema
Tema merupakan makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Hartoko dan
Rahmanto (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 68) menyatakan bahwa tema merupakan
gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya. Tema menjadi pengembangan
seluruh cerita sehingga bersifat menjiwai keseluruhan cerita. Senada dengan
pengertian tersebut, Henry Guntur Tarigan (1983: 160) menyatakan bahwa tema
adalah gagasan utama atau pikiran pokok. Tema biasanya bertolak dari kehidupan
berupa peristiwa nyata atau berupa imajinasi.
2)
Penokohan
Istilah tokoh merujuk pada orang atau pelaku cerita. Adapun penokohan
adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam
sebuah cerita (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 165). Sementara itu, Henry Guntur Tarigan (1983:
141) mengemukakan bahwa penokohan atau karakterisasi adalah proses yang
dipergunakan oleh seorang pengarang untuk menciptakan tokoh-tokoh fiksinya.
Penokohan tidak hanya menyangkut siapa saja tokoh yang ada dalam cerita tetapi
juga mencakup karakter, perwatakan, serta penempatan dan pelukisannya dalam
sebuah cerita.
Henry Guntur Tarigan (1983: 143) mengelompokkan tokoh cerita fiksi ke dalam tiga kelompok yaitu:
(1) tokoh utama; tokoh pusat (central character); (2) tokoh penunjang (supporting
character); (3) tokoh latar belakang (background character).
Berbeda dari Henry Guntur Tarigan, Burhan
Nurgiyantoro (2005: 176 – 190) mengategorikan tokoh-tokoh fiksi sebagai
berikut:
a) Tokoh utama dan tokoh tambahan. Pengategorian kedua tokoh tersebut
didasarkan atas dominasi, banyaknya penceritaan serta pengaruhnya terhadap
perkembangan plot secara keseluruhan.
b) Tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis merupakan tokoh
pengejawantahan norma-norma dan nilai-nilai yang ideal. Biasanya tokoh inilah
yang menjadi idola. Sementara itu, tokoh antagonis adalah tokoh penyebab
terjadinya konflik.
c) Tokoh sederhana dan tokoh bulat. Pengategorian tokoh ini berdasar pada
perwatakannya. Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas
pribadi tertentu; satu watak; satu sifat yang tertentu saja. Tokoh jenis ini
lebih mudah untuk dipahami. Adapun tokoh bulat adalah tokoh yang memiliki dan
diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati
dirinya. Tokoh jenis ini biasanya sulit untuk dideskripsikan perwatakannya.
d) Tokoh statis dan tokoh berkembang. Pengategorian tokoh ini didasarkan
pada berkembang atau tidaknya perwatakan tokoh cerita. Tokoh statis secara
esensial tidak mengalami perubahan atau perkembangan watak. Berbeda dengan
tokoh statis, tokoh berkembang adalah tokoh yang mengalami perubahan dan
perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan (dan perubahan) peristiwa.
e) Tokoh tipikal dan tokoh netral. Tokoh tipikal merupakan penggambaran,
pencerminan atau penunjukan terhadap orang atau sekelompok orang yang terikat
dalam suatu lembaga yang ada dalam dunia
nyata. Penggambaran tersebut bersifat tidak langsung sehingga pembacalah yang
memberi penafsiran berdasarkan pengetahuan, pengalaman atau persepsinya. Adapun
tokoh netral merupakan tokoh yang bereksistensi demi cerita itu sendiri. Tokoh
tersebut benar-benar tokoh imajiner yang hanya ada dalam cerita.
3)
Plot
Plot atau seringkali disebut dengan alur didefinisikan secara sederhana sebagai
jalan cerita. Stanton (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005:
113) mengemukakan bahwa plot adalah urutan cerita yang berisi urutan
kejadian. Tiap kejadian itu dihubungkan secara sebab akibat; peristiwa yang
satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain.
Pengembangan plot ditentukan oleh tiga faktor esensial, yaitu: peristiwa,
konflik dan klimaks. Peristiwa merupakan peralihan dari suatu keadaan ke
keadaan yang lain. Konflik merujuk pada suatu peristiwa atau kejadian yang yang
tidak menyenangkan yang dialami oleh para tokoh cerita. Konflik ini berupa
suatu peristiwa dramatik pertarungan antara dua kekuatan seimbang. Konflik yang
telah mencapai titik intensitas
tertinggi disebut klimaks. Klimaks sangat menentukan arah perkembangan plot.
Keberadaan klimaks menentukan cara penyelesaian permasalahan atau konflik.
Richard Summers (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 149) membedakan plot
cerita menjadi lima tahapan, yaitu: (1) tahap situation (tahap
penyituasian) yaitu tahap yang berisi pengenalan tokoh serta situasi yang ada
dalam cerita; (2) tahap generating circumstances (tahap pemunculan
konflik) ; (3) tahap rising action (tahap peningkatan konflik); (4)
tahap climax (klimaks) yaitu titik intensitas puncak konflik yang
dialami tokoh; dan (5) tahap denouement (tahap penyelesaian).
1)
Pelataran
Latar atau biasa disebut dengan setting merujuk pada pengertian
tempat¸ hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa dalam
cerita. Latar memberikan kesan realistis kepada pembaca.
Latar dibedakan dalam tiga unsur pokok yaitu tempat, waktu dan sosial. Latar tempat merujuk
pada lokasi terjadinya peristiwa, latar waktu berhubungan dengan masalah kapan
peristiwa terjadi dan latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan
dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat dalam cerita.
2)
Sudut Pandang
Sudut pandang (point of view) menyaran pada cara sebuah cerita
dikisahkan. Sudut pandang merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan
pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai
peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca (Abrams
dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 248).
Sudut pandang dibedakan menjadi dua yaitu bentuk tokoh cerita persona
pertama dan persona ketiga. Sudut pandang persona ketiga dapat berupa “dia”
serba tahu serta “dia” sebagai pengamat. Adapun sudut pandang persona pertama
dapat berupa “aku” sebagai tokoh utama serta “aku” sebagai tokoh tambahan.
3)
Bahasa
Cerpen sebagai salah satu jenis cipta sastra dibangun dari bahasa yang
berbeda dengan bahasa laras ilmiah meskipun mengemban fungsi yang sama, yaitu
fungsi komunikasi. Bahasa dalam sastra mempunyai tujuan estetik. Untuk
keperluan itulah, terkadang bahasa disimpangkan baik secara sinkronik maupun
diakronik. Penggunaan bahasa dalam sastra yang sering disebut dengan stile/gaya
bahasa terdiri dari beberapa unsur. Abrams, Leech, dan Short (dalam Burhan
Nurgiyantoro, 2005: 276) mengemukakan unsur-unsur stile, yaitu unsur
leksikal, unsur gramatikal, serta retorika yang meliputi permajasan,
penyiasatan unsur, pencitraan, kohesi.