Selama ini, istilah “inklusi”
diartikan dengan “mengikutsertakan anak berkelainan” di kelas “regular” bersama
dengan anak-anak lainnya. Dalam pengertian ini, “inklusi” mempunyai arti yang
lebih luas.
“Inklusi” memang mengikutsertakan
anak berkelainan seperti anak yang memiliki kesulitan melihat atau mendengar,
yang tidak dapat berjalan atau lebih lamban dalam belajar. Namun, secara luas “inklusi” juga berarti
melibatkan seluruh peserta didik tanpa terkecuali, seperti :
-
anak yang menggunakan bahasa yang berbeda dengan
bahasa pengantar yang digunakan di dalam kelas.
-
anak yang beresiko putus sekolah karena sakit,
kelaparan atau tidak berprestasi dengan baik.
-
anak yang
berasal dari golongan agama atau kasta yang berbeda.
-
anak yang
sedang hamil.
-
anak yang
terinfeksi HIV/AIDS, dan
-
anak yang berusia sekolah tetapi tidak sekolah.
“Inklusi”
berarti bahwa sebagai guru bertanggung jawab untuk mengupayakan bantuan dalam
menjaring dan memberikan layanan pendidikan pada semua anak dari otoritas
sekolah, masyarakat, keluarga, lembaga pendidikan, layanan kesehatan, pemimpin
masyarakat, dan lain-lain. (Dit. PLB, 2004: 2).
Di
beberapa tempat, semua anak mungkin masuk sekolah, tetapi masih terdapat
beberapa anak yang terpisahkan dari keikutsertaan dalam pembelajaran di kelas,
misalnya :
-
anak yang menggunakan bahasa ibu yang berbeda
dengan buku-buku pelajaran dan bacaan yang digunakan.
-
anak yang tidak pernah diberi kesempatan untuk
aktif dalam kelas.
-
anak yang
memiliki masalah gangguan penglihatan dan atau mendengar.
-
anak yang
tidak pernah mendapatkan bantuan ketika mengalami hambatan belajar.
Guru
bertanggung jawab untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif agar
seluruh peserta didik dapat dan ingin belajar serta merasa terlibat di kelas
dan di sekolah.