Friday, August 3, 2018

Problematika Pembelajaran Sejarah


Mengajar atau mengampu mata pelajaran sejarah tidaklah mudah, baik dari segi strategi pembelajaran, metode pembelajaran, penguasaan bahan maupun pertimbangan lingkungan strategik dewasa ini. Bahan mata pelajaran Sejarah sering mengalami penyesuaian sebagai konsekuensi pengkajian ulang yang secara terus menerus dilakukan dan kadangkala menghasilkan perubahan paradikmatik dan menjadi polemik, misalnya terkait dengan materi Kurikulum 2004, dimana untuk materi pelajaran Sejarah dinilai tidak memuat masalah pemberontakan Partai Komunis Indonesia ( PKI ) secara menyeluruh ( MT Arifin, Seminar Pendidikan Sejarah : 2005 ) dan dari adanya pelajaran PSPB menjadi tidak ada serta menguatnya tuntutan akan pembelajaran yang lebih bebas dari pengaruh kekuasaan politik pemerintah. Penyediaan waktu yang terbatas bagi mata pelajaran Sejarah menuntut kecerdikan dan kearifan guru pengampu untuk menerapkan strategi dan metode pembelajaran yang tidak saja dituntut untuk menarik dan mengesankan, melainkan juga mengoptimalkan peserta didik dalam memahami dan memaknai bentukan struktural masa lampau secara kronistik.
Jika tidak demikian maka pelajaran Sejarah akan berlangsung secara membosankan dan tidak mendewasakan peserta didik sebagai warga bangsa. Pertimbangan lingkungan strategik mengharuskan seorang guru untuk menyertakan perubahan sosial, ekonomi dan politik baik dalam lingkup lokal, nasional, regional, dan internasional dalam pembelajarannya untuk memenuhi relevansi akademik dan sosial dari mata pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya.

Kesulitan-kesulitan di atas masih pula ditambah adanya kesan dan opini dari peserta didik bahwa mata pelajaran Sejarah di sekolah adalah sangat mudah dan “digampangkan” ( Hariyono, 1995 : 143 ). Pengajaran sejarah membosankan, dianggap kering dan melelahkan karena fakta-faktanya harus dihafalkan ( I Gde Widja, 1989 : 4 ) Guru mata pelajaran Sejarah hanya memberikan fakta-fakta berupa urutan tahun dan peristiwa belaka. Model dan metode mengajarnya cenderung monoton sehingga yang terjadi di kelas biasanya adalah guru hanya memberi pelajaran dengan bercerita atau lebih tepatnya membacakan apa-apa yang tertulis dalam buku ajar. Akibatnya proses dialogis antara siswa dengan materi sejarah yang dipelajari kurang, sehingga materi sejarah menjadi bahan yang membosankan dan kurang mengandung makna perkembangan kejiwaan siswa. Di samping itu juga adanya kesan dan opini dari masyarakat bahwa mata pelajaran Sejarah tidaklah penting dan sedemikian mendesak. Hal itu terkait dengan kenyataan berikut : Pertama, aktivitas pemenuhan kebutuhan ekonomi dirasakan sangat berat oleh sebagian warga masyarakat dalam satu dasa warsa terakhir, sementara lapangan kerja lebih menuntut ketrampilan praktis dari pada kearifan humanik yang ditawarkan oleh pelajaran Sejarah.
Kedua, di beberapa daerah yang dilanda konflik, isi mata pelajaran Sejarah tidak cukup memenuhi kebutuhan masyarakat akan kerangka konseptual untuk memahami berbagai konflik kekerasan yang mendadak dan menelan korban besar; padahal dalih-dalih pembenar posisi pihak-pihak dalam sengketa itu sering mendasarkan pada kalim kesejarahan tertentu. Klaim itu hidup dalam cerita-cerita rakyat dan belum tercakup dalam bahan pelajaran Sejarah di sekolah. Sekedar sebagai contoh adalah adanya konflik antara  etnis Tionghoa dengan penduduk Pribumi ( Jawa ) yang terjadi pada tahun 1980-an. Realitas ini tidak menjadi materi pembahasan dalam pengembangan mata pelajaran Sejarah. Dua kenyataan di atas dipaparkan di sini untuk mengisyaratkan bahwa relevansi sosial bahan pelajaran Sejarah menjadi persolan serius.

Fungsi pokok pendidikan sejarah adalah sebagai penunjang pembangunan karakter bangsa. Keterbatasan-keterbatasan dalam pembelajaran sejarah menjadikan fungsi itu sulit untuk dicapai. Hal ini terbukti dengan menguatnya kecenderungan sektarianisme dan primordialisme sebagaimana tersirat dari peristiwa-peristiwa pertikaian komunal di beberapa daerah, pada hal tema bangsa dari pelajaran sejarah digencarkan sampai keluar lingkungan sekolah. Kenyataan-kenyataan ini menandakan bahwa pendidikan sejarah penting sekaligus sedang bermasalah akhir-akhir ini ( M. Dian Nafi’ : Seminar Pendidikan Sejarah : 2005 ).

Masalah utama dalam pendidikan sejarah adalah melemahnya pembelajaran sejarah di kelas yang dialogik, humanik, dan kreatif. Pembelajaran sejarah di sekolah seharusnya diarahkan kepada pemahaman materi, pembentukan nilai-nilai dan makna sejarah pada diri siswa. Di samping itu pembelajaran yang dapat menumbuhkan kreaatifvitas dan ketrampilan siswa untuk dapat menemukan dan memecahkan setiap permasalahan yang dihadapi sehingga dapat memberikan andil yang besar dalam meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh karena itu dalam tulisan ini untuk mewujudkannya maka pembelajaran di sekolah akan relevan jika diselenggarakan dalam pendekatan yang dialogis, humanis, dan kreatif sehingga mampu mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh siswa.