Mengajar atau mengampu mata pelajaran sejarah tidaklah mudah, baik
dari segi strategi pembelajaran, metode pembelajaran, penguasaan bahan maupun
pertimbangan lingkungan strategik dewasa ini. Bahan mata pelajaran Sejarah sering
mengalami penyesuaian sebagai konsekuensi pengkajian ulang yang secara terus
menerus dilakukan dan kadangkala menghasilkan perubahan paradikmatik dan
menjadi polemik, misalnya terkait dengan materi Kurikulum 2004, dimana untuk materi
pelajaran Sejarah dinilai tidak memuat masalah pemberontakan Partai Komunis
Indonesia ( PKI ) secara menyeluruh ( MT Arifin, Seminar Pendidikan Sejarah :
2005 ) dan dari adanya pelajaran PSPB menjadi tidak ada serta menguatnya
tuntutan akan pembelajaran yang lebih bebas dari pengaruh kekuasaan politik
pemerintah. Penyediaan waktu yang terbatas bagi mata pelajaran Sejarah menuntut
kecerdikan dan kearifan guru pengampu untuk menerapkan strategi dan metode
pembelajaran yang tidak saja dituntut untuk menarik dan mengesankan, melainkan
juga mengoptimalkan peserta didik dalam memahami dan memaknai bentukan
struktural masa lampau secara kronistik.
Jika tidak demikian maka pelajaran
Sejarah akan berlangsung secara membosankan dan tidak mendewasakan peserta
didik sebagai warga bangsa. Pertimbangan lingkungan strategik mengharuskan
seorang guru untuk menyertakan perubahan sosial, ekonomi dan politik baik dalam
lingkup lokal, nasional, regional, dan internasional dalam pembelajarannya
untuk memenuhi relevansi akademik dan sosial dari mata pelajaran yang menjadi
tanggung jawabnya.
Kesulitan-kesulitan di atas masih pula ditambah adanya kesan dan
opini dari peserta didik bahwa mata pelajaran Sejarah di sekolah adalah sangat mudah
dan “digampangkan” ( Hariyono, 1995 : 143 ). Pengajaran sejarah membosankan,
dianggap kering dan melelahkan karena fakta-faktanya harus dihafalkan ( I Gde
Widja, 1989 : 4 ) Guru mata pelajaran Sejarah hanya memberikan fakta-fakta
berupa urutan tahun dan peristiwa belaka. Model dan metode mengajarnya
cenderung monoton sehingga yang terjadi di kelas biasanya adalah guru hanya
memberi pelajaran dengan bercerita atau lebih tepatnya membacakan apa-apa yang
tertulis dalam buku ajar. Akibatnya proses dialogis antara siswa dengan materi
sejarah yang dipelajari kurang, sehingga materi sejarah menjadi bahan yang
membosankan dan kurang mengandung makna perkembangan kejiwaan siswa. Di samping
itu juga adanya kesan dan opini dari masyarakat bahwa mata pelajaran Sejarah tidaklah
penting dan sedemikian mendesak. Hal itu terkait dengan kenyataan berikut :
Pertama, aktivitas pemenuhan kebutuhan ekonomi dirasakan sangat berat oleh
sebagian warga masyarakat dalam satu dasa warsa terakhir, sementara lapangan
kerja lebih menuntut ketrampilan praktis dari pada kearifan humanik yang
ditawarkan oleh pelajaran Sejarah.
Kedua, di
beberapa daerah yang dilanda konflik, isi mata pelajaran Sejarah tidak cukup
memenuhi kebutuhan masyarakat akan kerangka konseptual untuk memahami berbagai
konflik kekerasan yang mendadak dan menelan korban besar; padahal dalih-dalih
pembenar posisi pihak-pihak dalam sengketa itu sering mendasarkan pada kalim
kesejarahan tertentu. Klaim itu hidup dalam cerita-cerita rakyat dan belum
tercakup dalam bahan pelajaran Sejarah di sekolah. Sekedar sebagai contoh
adalah adanya konflik antara etnis
Tionghoa dengan penduduk Pribumi ( Jawa ) yang terjadi pada tahun 1980-an.
Realitas ini tidak menjadi materi pembahasan dalam pengembangan mata pelajaran
Sejarah. Dua kenyataan di atas dipaparkan di sini untuk mengisyaratkan bahwa
relevansi sosial bahan pelajaran Sejarah menjadi persolan serius.
Fungsi pokok pendidikan sejarah adalah sebagai penunjang pembangunan
karakter bangsa. Keterbatasan-keterbatasan dalam pembelajaran sejarah
menjadikan fungsi itu sulit untuk dicapai. Hal ini terbukti dengan menguatnya
kecenderungan sektarianisme dan primordialisme sebagaimana tersirat dari
peristiwa-peristiwa pertikaian komunal di beberapa daerah, pada hal tema bangsa
dari pelajaran sejarah digencarkan sampai keluar lingkungan sekolah.
Kenyataan-kenyataan ini menandakan bahwa pendidikan sejarah penting sekaligus
sedang bermasalah akhir-akhir ini ( M. Dian Nafi’ : Seminar Pendidikan Sejarah
: 2005 ).
Masalah utama dalam pendidikan sejarah adalah melemahnya
pembelajaran sejarah di kelas yang dialogik, humanik, dan kreatif. Pembelajaran
sejarah di sekolah seharusnya diarahkan kepada pemahaman materi, pembentukan
nilai-nilai dan makna sejarah pada diri siswa. Di samping itu pembelajaran yang
dapat menumbuhkan kreaatifvitas dan ketrampilan siswa untuk dapat menemukan dan
memecahkan setiap permasalahan yang dihadapi sehingga dapat memberikan andil
yang besar dalam meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh karena
itu dalam tulisan ini untuk mewujudkannya maka pembelajaran di sekolah akan
relevan jika diselenggarakan dalam pendekatan yang dialogis, humanis, dan
kreatif sehingga mampu mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh siswa.